post

Mengapa Liverpool Begitu Dekat dengan Kelas Pekerja?

PUSATSCORE , Tanggal 1 Mei kemarin diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Momen ini menyatukan pekerja global sekaligus mengingatkan akan pentingnya perjuangan kelas pekerja dalam sejarah dan budaya. Dalam konteks ini, Liverpool FC menjadi contoh nyata bagaimana sepak bola bisa begitu erat dengan identitas dan perjuangan kaum buruh.

Liverpool tumbuh dari akar komunitas kelas pekerja yang telah lama menghuni kota pelabuhan tersebut. Kisah The Reds sebagai klub kelas pekerja pun diwarnai kisah ketidakselarasan dengan pemerintah Inggris. Lebih dari sekadar aksi di atas lapangan, Liverpool telah menjadi representasi perlawanan, kesetiaan, dan kebanggaan bagi masyarakat Merseyside.

1. Liverpool lahir dari konflik internal antara dewan direksi Everton dengan kelas pekerja

Sepak bola modern lahir di tengah-tengah komunitas pekerja di kota-kota industri Inggris pada abad ke-19. Kota Liverpool, sebagai pusat industri dan pelabuhan, menjadi lahan subur bagi berkembangnya olahraga ini. Para pekerja pelabuhan, buruh pabrik, dan masyarakat kelas bawah menjadikan sepak bola sebagai pelarian dari kerasnya kehidupan sehari-hari sekaligus sarana membangun solidaritas.

Liverpool, sejak awal berdiri, membawa semangat tersebut. Dilansir laman resmi klub, pendiriannya bermula dari perselisihan dengan jajaran direksi Everton. Ini mendorong John Houlding membentuk Liverpool dengan merekrut pemain-pemain berlatar belakang kelas pekerja. Tidak heran jika sejak dulu, para pendukung Liverpool dikenal vokal, politis, dan berani menyuarakan aspirasi mereka.

Identitas masyarakat Merseyside yang cenderung progresif, kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat, dan dekat dengan gerakan sosial, menjadikan Liverpool sebagai representasi politik yang kuat. Sikap penolakan terhadap European Super League pada 2021, serta dukungan terhadap gerakan sosial seperti Fans Supporting Foodbanks, menunjukkan bagaimana mereka tak bisa lepas dari denyut nadi masyarakat kelas pekerja di sekitarnya.

2. Bill Shankly menanamkan nilai-nilai sosialisme semasa kepelatihannya di Liverpool

Bill Shankly, manajer legendaris Liverpool, menjadi simbol utama kedekatan klub ini dengan nilai-nilai sosialisme. Kutipannya yang terkenal, “The socialism I believe in is everyone working for each other, everyone having a share of the rewards, (Sosialisme yang saya yakini adalah semua orang bekerja untuk satu sama lain, semua orang mendapatkan bagian dari hasilnya)” merangkum filosofi kepemimpinannya. Baginya, esensi sepak bola tak sekadar meraih kemenangan. Lebih dari itu, ia juga memegang nilai-nilai keadilan, kerja sama tim, dan persatuan.

Alih-alih mengandalkan strategi yang rumit, Shankly membangun Liverpool melalui prinsip kerja sama tim yang kuat dan koneksi emosional mendalam antar individu. Ia menghidupkan nilai-nilai sosialisme dalam setiap aspek klub dari ruang ganti hingga tribun stadion. Di tangan Shankly, Liverpool menjelma sebagai kekuatan besar Eropa yang tetap bersahaja.

Hubungan Shankly dengan para penggemar Liverpool begitu dalam dan emosional. Ia dikenal sebagai pribadi yang ramah kepada fans, memahami kehidupan mereka, dan menganggap mereka bagian tak terpisahkan dari tim. Warisannya terus hidup di Anfield bukan hanya dalam bentuk trofi, tetapi juga dalam nilai-nilai yang dipegang teguh oleh klub hingga hari ini.

3. Elemen Liverpool, termasuk pemain, melakukan aksi solidaritas terhadap pekerja pelabuhan

Pada pertengahan 1990-an, Liverpool menjadi saksi dari salah satu pemogokan pekerja paling besar dalam sejarah Inggris. Sekitar 500 buruh pelabuhan dipecat karena menolak melewati garis piket dalam solidaritas terhadap rekan mereka yang lebih dulu dipecat oleh Mersey Docks and Harbour Company (MDHC). Pemogokan yang berlangsung dari 1995–1998 ini menjadi simbol perjuangan kelas pekerja melawan sistem yang menindas.

Dalam perjuangan tersebut, para pemain Liverpool ikut menyuarakan dukungan. Robbie Fowler, dalam laga Piala Winners Eropa 1997, mengenakan kaus bertuliskan “Support The 500 Sacked Dockers” setelah mencetak gol. Aksi ini membuatnya didenda UEFA. Namun di mata publik, Fowler justru menjadi pahlawan yang menunjukkan bahwa pemain sepak bola bisa ikut serta berdiri bersama kelas pekerja.

Dukungan terhadap para pekerja juga datang dari fans dan komunitas lokal. Demonstrasi besar-besaran, aksi solidaritas internasional, hingga keterlibatan tokoh budaya dan olahraga menggambarkan perjuangan ini bukan hanya milik para buruh pelabuhan, melainkan milik seluruh komunitas Liverpool. Sebuah contoh nyata jika sepak bola dan solidaritas sosial merupakan hal yang tak terpisahkan.

4. Juergen Klopp turut meneladai nilai-nilai yang diwariskan Bill Shankly

Kerendahan hati Bill Shankly kemudian diteladani Juergen Klopp. Tiba di Anfiled pada 2015, ia langsung menyatakan dirinya sebagai The Normal One, ungkapan sederhana yang mencerminkan kerendahan hatinya. Klopp membangun hubungan erat dengan fans, staf klub, dan komunitas lokal. Ia menolak adanya hierarki antara manajer, pemain, dan pendukung, sesuatu yang mengingatkan pada prinsip sosialisme Shankly.

Klopp juga menanamkan etos kerja keras dan kebersamaan dalam skuad Liverpool. Ia tak mengizinkan pemain menyentuh papan “This is Anfield” di lorong stadion tanpa pernah memenangkan trofi untuk menghormati perjuangan dan sejarah klub. Dalam masa kepemimpinannya, dirinya membawa The Reds meraih berbagai trofi kejuaraan. Namun yang lebih penting, ia mengembalikan semangat solidaritas dan egaliter ke dalam klub.

Selama pandemi COVID-19, Klopp dan para pemain aktif menggalang dana untuk staf medis dan masyarakat terdampak. Ia pun kerap mengutip inspirasi dari para pekerja di Melwood dan Kirkby dalam membangkitkan semangat pemain. Seperti Shankly, Klopp memahami kekuatan Liverpool berasal dari manusia-manusia biasa yang bekerja bersama untuk tujuan bersama.

Liverpool berhasil memaknai sepak bola sebagai alat pemersatu, sesuai dengan semangat dan identitas komunitas Merseyside yang terbentuk sejak lama. Hari Buruh menjadi momen menyadarkan kita bahwa akar sepak bola sejatinya milik rakyat, bukan dominasi kepentingan kelompok dan kapitalisme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *